Ajakan ke Kabupaten Siak langsung disambar dengan cepat. Hari itu kita semua berencana untuk mengunjungi Istana Kesultanan Siak Sri Indrapura. Perjalanan sekitar 100 km dari Pekanbaru ditempuh dengan melalui jalan pintas diantara kebun sawit, dan hutan-hutan. Walaupun cuaca sedang mendung dan melalui bukan jalan aspal, tapi kami menikmatinya karena selama ini kita belum pernah merasakan offroad. Tidak sulit untuk menemukan Istana Sultan Siak, karena bangunannya yang megah berdiri di tepi Sungai Siak. Dengan membayar tiket dewasa seharga Rp. 4000, dan anak-anak Rp.2500,
kita bisa masuk ke Istana yang dibangun pada tahun 1889 dengan lama
pembangunan 9 tahun lamanya.
Kesultanan Siak Sri Indrapura merupakan Kerajaan Melayu Islam yang diperhitungkan pada masanya. Pengaruhnya sangat kuat, sehingga membentuk segitiga pelabuhan kuat di Selat Malaka, yaitu Johor, Singapura dan Siak. Bahkan daerah kekuasaan kerajaan ini diperebutkan oleh Inggris dan Belanda karena letaknya yang strategis. Belanda sendiri memperlakukan Kesultanan Siak secara istimewa demi mendapatkan kayu-kayu yang berasal dari sini. Setelah masa perang dunia kedua selesai, Sultan Syarif Kasim II menyerahkan kedaulatannya ke Republik Indonesia. Nama beliau menjadi nama bandara di Pekanbaru.
Memasuki Istana Siak, harus membuka alas kaki karena koleksi yang berada di dalamnya masih asli seperti ketika Sultan Siak berkuasa dan menjaga kebersihan dalam istana. Lantai marmer yang memberikan efek dingin, didatangkan dari Italia langsung. Diruangan tengah, terdapat mahkota emas (aslinya ada di Museum Nasional sedangkan yang dipajang adalah replikanya) yang digunakan raja dalam acara-cara resmi kesultanan pada masa itu. Coba perhatikan lampu hiasnya, karena jaman itu nggak ada listrik, jadi lampunya masih pake minyak tanah. Ada tangki kaca untuk menampung sang minyak.
Diruang makan terdapat meja makan yang sangat besar untuk jamuan. Ditembok sebelah atas, terdapat patung (atau hewan dikeringkan ya?) menempel. Ada kepala rusa, anjing menggigit kelinci, dll. Hal ini dikarenakan sultan pada saat itu sangat gemar berburu.Dan sekali lagi, perhatikan deh lampunya, tetep lampu antik menggunakan minyak tanah. Kebayang yang harus kebagian ngurusnya....