Photography itu menurut saya adalah "personal experience, personal touch", seperti membuat secangkir kopi. Sama-sama mengandalkan perpaduan the triangle of golden rule, ada gula, ada air dan ada kopi disajikan dengan selera masing-masing untuk menghasilkan kopi yang enak, apapun alat yang dipakainya, gelas, chiffon, vietnam drip bahkan coffee maker yang paling canggih. .
kembang api, walau nggak pake tripod |
Tulisan ini muncul gara-gara ngobrol ngaler ngidul dengan seorang teman yang sangat mencintai kamera poketnya. Awal perjalanan kami sama, memotret dengan kamera poket sederhana, hanya kamera point and shot, bukan jenis prosummer. Saya memotret memakai kamera saku sederhana Semo Mpixx XZ7, dengan 7 megapixels. Justru karena kesederhanaanya, kamera ini membebaskan saya untuk bereksperimen dengan kemampuan yang ada untuk menghasilkan foto yang layak untuk dipandangi, dan sedikit kerja keras untuk memahami sang kamera. Contohnya seperti foto diatas, ketika tahun baru kami menunggu pesta kembang api. dan memotretnya dengan kamera poket. Yang kami lakukan adalah memotret dengan dua cara, pertama menggunakan night mode dan tembok sebagai tripodnya, hasilnya kurang memuaskan. Sedangkan kedua, mengatur shuter speed/ kecepatan ke yang paling rendah (kamera poket saya bisa sampai 4 detik) dan ISO 100. Hasilnya tidak mengecewakan walaupun gedungnya tampak blur.
Semo mpixx, ISO 100, SS 125 |
Kamera pocket point and shoot sangat bisa diandalkan karena ringan, bahannya dari plastik, memakai batere biasa AA 2 buah, bisa dimasukkan dalam saku dan murah meriah. Saya mengandalkannya untuk memotret dalam perjalanan ataupun membantu saya dalam pekerjaan sehari-hari. (saya malas mencatat, jadi saya potret semua dokumen dengan mode macro kalo kumat malasnya). Walaupun mungil, kamera ini mempunyai kemampuan yang baik untuk memotret makro. Contohnya foto mawar yang mulai mekar dipotret dengan mode makro yang dilambangkan dengan bunga tulip. Dan hasilnya cukup baik dengan latar belakang yang bokeh.
Perjalanan saya menggunakan kamera saku semakin menentukan dasar gaya/ style memotret dan kebutuhan kamera saya. Saya tidak memerlukan kamera dengan pixel yang sangat besar karena pixel tidak akan berpengaruh terhadap hasil memotret saya, 7 atau 8 MP sudah cukup. Lalu, saya tidak membutuhkan optical zoom yang sangat besar, karena saya tidak akan memotret dari jarak jauh. Saya cenderung tidak pernah menggunakan zoom, karena kalo terlalu besar pun biasanya akan ada perbedaan warna. Justru saya membutuhkan aperture yang kecil, antara 1.8 ataupun 2.8 sudah cukup untuk mengasilkan foto makro dan bokeh. Sedangkan kecepatan rendah saya butuhkan untuk motret dengan kecepatan yang sangat lambat seperti memotret kembang api, air terjun, dll. Sedangkan fasilitas/ mode lainnya sih menurut saya nggak terlalu penting dan nggak wajib dikejar.
Keperluan kamera saku seseorang pun akan berbeda, teman saya yang wartawan membutuh kamera saku yang mempunyai koneksi wiFi karena dia harus bisa up load foto untuk pekerjaannya. Sedangkan yang hobi diving, membutuhkan kamera yang mempunyai casing anti air. Saya, yang hobi maen membutuhkan kamera untuk mendokumentasikan dan memotret hal-hal unik. (lagi ngidam kamera Canon Powershot A810, atau Benq AE100, ada yang mau saweran hehehehehheh). Kalo teman-teman, apa gaya motretnya? hmmmmm kamera saku apa cita-cita teman-teman semua? Satu hal yang bisa kita ingat bahwa harga kamera yang mahal tidak menjamin akan mengahsilkan foto yang baik. Justru pengetahuan menggunakan kamera yang kita milikilah yang akan membuat hasil foto semakin baik.
Untuk yang mau lihat betapa dahsyatnya hasil dari kamera saku, silahkan mampir ke situsnya Kang Dudi Sugandi (udah lama nggak di update ya Bos?) atau grup Kamera Saku Mania di Facebook. Semoga menambah pencerahan teman-teman semua.....